JURNALMERDEKA.id – JAKARTA. Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025). Agenda kali ini adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap tiga terdakwa utama dalam perkara dugaan penyimpangan anggaran kegiatan kebudayaan tahun 2022–2024.
Ketiga terdakwa yakni Iwan Henry Wardhana (mantan Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta), Muhammad Fairza Maulana (Kabid Pemanfaatan Disbud DKI Jakarta), dan Gatot Arif Rahmadi, disebut dalam dakwaan telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp36 miliar.
Dalam tuntutannya, JPU menilai ketiganya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Mereka dijatuhi tuntutan pidana berbeda sesuai peran masing-masing:
1. Iwan Henry Wardhana dituntut 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, subsider 3 tahun kurungan, serta membayar uang pengganti Rp20 miliar, subsider 6 tahun kurungan.
2. Muhammad Fairza Maulana dituntut 7 tahun penjara, denda Rp500 juta, subsider 6 bulan, dan uang pengganti Rp1 miliar, subsider 3 tahun 6 bulan.
3. Gatot Arif Rahmadi dituntut 9 tahun penjara, denda Rp500 juta, subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp13 miliar, subsider 3 tahun 6 bulan.
“Para terdakwa terbukti dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” tegas JPU dalam pembacaan tuntutannya.
Majelis hakim juga memutuskan agar ketiga terdakwa tetap ditahan hingga putusan akhir.
Menanggapi tuntutan tersebut, penasihat hukum terdakwa Gatot Arif Rahmadi, Misfuryadi, S.H., dan Barends Damanik menyatakan keberatan atas tuntutan berat yang dijatuhkan kepada kliennya. Menurutnya, Gatot justru berperan sebagai saksi kunci (saksi mahkota) yang telah membantu mengungkap keseluruhan konstruksi kasus korupsi di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
“Kami merasa tuntutan 9 tahun ini sangat berat. Padahal Pak Gatot telah berkomitmen sejak awal untuk membuka semua yang terjadi di dalam kasus ini,” ujar Misfuryadi usai persidangan.
Ia menjelaskan, tanpa keterangan dan kerja sama dari Gatot, perkara ini tidak akan pernah lengkap (P21) atau sampai pada tahap penuntutan. Karena itu, pihaknya menilai Gatot layak mendapatkan perlindungan dan keringanan hukum sebagai saksi mahkota sesuai ketentuan hukum acara pidana.
“Beliau seharusnya mendapatkan keringanan karena sudah membantu aparat penegak hukum. Kami berharap majelis hakim mempertimbangkan peran beliau secara objektif dan proporsional,” tambah Misfuryadi.
Lebih lanjut, Misfuryadi juga menyoroti belum adanya tindak lanjut dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap pengajuan perlindungan hukum bagi kliennya.
“Kami sudah lengkapi semua berkas dan pernyataan untuk LPSK, tapi hingga kini belum ada tindak lanjut. Padahal, posisi Pak Gatot sangat rentan karena ia membuka banyak hal yang belum pernah terungkap,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga menilai bahwa proses audit dan perhitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak memberikan kesempatan kepada Gatot untuk memberikan klarifikasi atau sanggahan.
“Hak terdakwa untuk melakukan verifikasi dan memberikan klarifikasi justru diabaikan. Misalnya pada kegiatan di Condet, anggaran yang disebutkan Rp75–80 juta, tapi dalam laporan BPK hanya tercatat Rp1,9 juta. Ini sangat janggal,” kata Misfuryadi.
Ia juga menyebut bahwa perhitungan kerugian negara yang mencapai Rp13 miliar terhadap kliennya tidak memperhitungkan biaya operasional perusahaan, gaji karyawan, dan sewa kantor selama tiga tahun, yang secara riil mengurangi total nilai yang dianggap merugikan negara.
“Kalau dihitung dengan benar, nilai kerugian itu jauh di bawah yang disebutkan JPU,” tegasnya.
Sementara itu, penasihat hukum lainnya, Barends Damanik, menegaskan tim pembela akan menyerahkan bukti-bukti tambahan dalam agenda pembelaan (pleidoi) mendatang.
“Kami diperintahkan majelis hakim untuk melampirkan bukti atau fakta baru di bagian lampiran pembelaan. Itu akan kami siapkan dan masukkan dalam pleidoi,” jelas Barends Damanik.
Menurutnya, langkah itu penting agar majelis hakim dapat menilai secara menyeluruh posisi hukum kliennya berdasarkan bukti konkret, bukan semata-mata dakwaan JPU.
Majelis hakim menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda pembacaan pleidoi atau nota pembelaan dari masing-masing terdakwa dan penasihat hukum.
Kasus dugaan korupsi di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta ini menjadi sorotan publik, karena melibatkan sejumlah pejabat dan pelaku kegiatan seni yang disebut fiktif. Berdasarkan dakwaan, penyimpangan anggaran terjadi pada beberapa kegiatan kebudayaan tahun 2022–2024 dengan nilai mencapai Rp36 miliar. (Anton)








Komentar