JURNALMERDEKA.id, JAKARTA — Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi fasilitas kredit macet Bank Negara Indonesia (BNI) dengan terdakwa Lia Hertika Hudayani, Ferry Syarfariko, Nazal Gilang Romadhon, dan Lilys Yuliana alias Sansan (DPO) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2025).
Perkara yang tercatat dengan nomor 88-89-90/Pidsus-TPK/2025 ini menyoroti dugaan penyalahgunaan fasilitas kredit yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp34,5 miliar.
Persidangan kali ini dengan agenda pemeriksaan para saksi. JPU menghadirkan dalam persidangan sejumlah saksi dari pihak BNI, di antaranya Trisia Marbun (Manajer Pengelola BNI), Elfian Trisna Sundawa (Wakil Pimpinan Cabang BNI Daan Mogot), Vivi Puspa Juwita (Asisten Credit Standard BNI Daan Mogot), Siti Fatiah Rahma Cita (BNI Pecenongan), dan Lina Apriyanti (Senior Account Credit BNI Jakarta Kota). Majelis hakim dipimpin oleh Fajar Kusuma Aji, SH MH, sementara Lia Hertika Hudayani didampingi oleh penasihat hukum Erdi Surbakti, SH dan rekan.
Disela-sela masa skors persidangan, penasihat hukum terdakwa Lia Hertika Hudayani, Erdi Surbakti, menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam konstruksi perkara yang menjerat kliennya.
Menurutnya, Lia hanyalah pegawai dengan tugas administratif yang tidak memiliki kewenangan dalam penentuan keputusan kredit.
“Dari konstruksi yang diperiksa tadi, terlihat bahwa kredit yang dimaksud merupakan kredit kecil atau UMKM. Saksi menyatakan dengan pasti bahwa kredit ini di-cover oleh asuransi. Namun sampai hari ini, yang menentukan apakah asuransi itu ditagih atau tidak bukan kewenangan Lia, melainkan bagian bisnis,” ujar Erdi kepada awak media.
Ia menegaskan bahwa tanggung jawab utama pemberian kredit berada pada wakil pimpinan cabang dan penyelia, bukan pada Lia.
“Wakil pemimpin cabang yang merupakan atasan Lia itu adalah penentu kredit. Tapi anehnya, dia tidak dijadikan tersangka maupun terdakwa. Padahal, Lia hanya mengumpulkan data debitur untuk bahan analisis kredit. Ini keganjilan yang nyata,” tegasnya.
Erdi juga menyoroti ketimpangan dalam proses pemeriksaan saksi, terutama mengenai siapa yang sebenarnya melakukan kunjungan dan evaluasi terhadap debitur.
“Dalam proses pemeriksaan, terungkap bahwa yang melakukan kunjungan, pemeriksaan berkas, bahkan evaluasi mingguan itu dilakukan bersama atasan Lia. Tapi yang dijadikan terdakwa hanya Lia. Ini jelas tidak adil,” jelasnya.
Dari keterangan sejumlah saksi, diketahui bahwa kredit yang dipermasalahkan telah diasuransikan, meski hingga kini belum ada kepastian apakah klaim asuransi sudah dilakukan sebagai bentuk penggantian terhadap fasilitas kredit yang macet tersebut.
Lebih lanjut, Erdi meminta agar majelis hakim menghadirkan saksi tambahan, khususnya dari pihak yang memiliki kewenangan penuh dalam proses pemberian kredit.
“Harapan kami, saksi-saksi penting seperti wakil pemimpin cabang bisa dihadirkan. Karena kalau hanya berhenti pada saksi yang belum menjawab persoalan pokok, maka kebenaran materil tidak akan terungkap,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa perlu dilakukan penelusuran terhadap status jaminan dan klaim asuransi yang seharusnya menutup potensi kerugian negara.
“Kalau kredit itu memang di-cover asuransi, berarti ada yang mengganti kerugian. Jadi mestinya tidak ada kerugian negara. Itu yang harus kita buktikan di persidangan,” pungkas Erdi Surbakti.
Diketahui, kasus ini bermula dari pemberian fasilitas kredit kepada sejumlah debitur yang kemudian dinyatakan macet. Berdasarkan hasil penyelidikan, terdapat dugaan penyimpangan prosedur dalam proses pencairan dan pengawasan kredit.
Jaksa menjerat para terdakwa dengan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan ancaman pidana maksimal penjara seumur hidup.
Persidangan akan kembali digelar pekan depan dengan agenda lanjutan pemeriksaan saksi dan pembuktian.








Komentar