Sidang Tipikor Kredit Macet BNI Kembali Digelar, Terdakwa Dirugikan DPO Sansan

JURNALMERDEKA.id — JAKARTA . Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi penyaluran kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Perkara yang menimbulkan kerugian negara Rp34,51 miliar ini menyeret empat terdakwa: Lia Hertika Hudayani, Ferry Syarfariko, Nazal Gilang Ramadhan, dan Lilys Yuliana alias Sansan (DPO).

Agenda persidangan kali ini, yaitu  pemeriksaan terhadap para terdakwa, untuk dimintai keterangannya sebagai saksi dan keterangan untuk terdakwa lainnya.

Dalam pemeriksaan di persidangan Ferry Syarfariko mengungkap bahwa ia sering diminta Lilys Yuliana atau Sansan, untuk mengantar para calon debitur ke terdakwa Gilang Ramadhan di BNI Jakarta Kota maupun BNI Daan Mogot. Ia juga mengaku mengantar lebih dari 15 orang, seluruhnya atas perintah Sansan.

“Ada 15 orang, 15 orang lebih semua atas perintah Sansan,” katanya.

Ketika ketua majelis hakim bertanya apakah kepemilikan mesin pernah dipastikan, saksi menjawab lugas:

“Nggak ditanya. Hanya ditanya mesin ini peruntukannya untuk apa.” jawabnya.

Selain itu, saksi mengakui bahwa dana pencairan kredit yang diterima debitur hampir seluruhnya diserahkan kepada Sansan.

Dalam pemeriksaan terpisah, terdakwa Lia Hertika Hudayani menjelaskan riwayat jabatannya dan proses penyaluran kredit di Jakarta Kota maupun Daan Mogot. Lia menyebut bahwa OTS (On The Spot) dilakukan hanya sebatas pengecekan fisik dan kecocokan invoice.

“Pertanyaannya sebatas: ‘Mas, apa ini mesinnya?’… Kita mencocokkan invoice yang kita pegang sama yang kita lihat.” kata Lia.

Hakim menyoroti bahwa prosedur BNI menjadi tidak berjalan sebagaimana prinsip kehati-hatian (prudential banking).

“Mesin tidak bisa tahu kebenarannya. Sistem hanya membaca kelengkapan, bukan kebenaran. Itu kelemahan sistem!” kata Hakim ketua Fajar Kusuma Aji.

Lia membenarkan bahwa dirinya memproses administrasi kredit Gilang Ramadhan, termasuk rekening koran.

“Untuk rekening koran, saya terima Pak.” kata Lia.

Dalam pemeriksaan oleh penasihat hukum Erdi Surbakti, Lia memberikan keterangan mengejutkan. Ia mengaku mengalami kerugian pribadi karena diminta menalangi dana oleh Sansan yang kini ditetapkan sebagai DPO.

“Memperkaya orang lain memperkaya diri sendiri? Izin Pak, di sini malah saya yang kehilangan rumah, mobil sama perhiasan karena DPO ini.” terang Lia.

Ia menguraikan bagaimana ia menggadaikan rumahnya, meminjam uang Rp100 juta dari seseorang bernama Chirut, lalu menyerahkan seluruh dana itu ke Sansan sebelum kabur.

“Chirut transfer ke saya 100.000.000, saya tarik tunai, setor tunai ke si Sansan, ke rekening pribadinya Sansan.” jelasnya.

Ketika tidak mampu mengembalikan pinjaman, BPKB mobil Avanza miliknya turut dijadikan jaminan.

“Akhirnya Chirut bilang: ‘Ami boleh nggak pinjam BPKB Avanza-nya?’ Ya sudah ambil,” terang Lia sambil terisak sedih.

“Sekarang rumah saya sudah dibalik nama orang lain, mobil nggak ada, perhiasan nggak ada.” imbuhnya.

Lia menegaskan tidak pernah menerima keuntungan dari kasus ini.

Usai sidang, penasihat hukum Erdi Surbakti SH menyampaikan keberatan keras atas konstruksi dakwaan dan metode pembuktian jaksa. Kepada redaksi Erdi mengatakan beberapa hal, yang menjadi catatan dari persidangan hari ini.

Menurut Erdi, dakwaan gabungan Jakarta Kota dan Daan Mogot tanpa dasar yang jelas, Erdi menilai jaksa tidak menjelaskan lokasi perbuatan secara spesifik.

“Dakwaan dijadikan satu antara Jakarta Kota dengan Daan Mogot, ini belum terjawab: dia melakukan kejahatan itu di mana? Wilayah hukumnya di mana?” tegasnya.

Erdi juga mengkritisi audit internal tidak layak dijadikan dasar kerugian, Jaksa menggunakan hasil audit internal BNI, bukan audit BPK. Ia menyebut kerugian yang dihitung masih “abu-abu”.

Erdi menilai, majelis hakim ikut bingung karena data sistem BNI bermasalah, Erdi menyoroti sistem BNI yang gagal mendeteksi data bermasalah.

“Ada 127 nasabah bermasalah di Daan Mogot dan 93 nasabah Jakarta Kota tidak terdeteksi.” terangnya.

Erdi mejelaskan bahwa dasar perhitungan kerugian hanya diambil tahun terakhir.

“Kredit tahun pertama dan kedua lancar, tapi yang dihitung hanya tahun terakhir. Ini tidak sesuai dakwaan.” ujarnya.

Erdi juga mengatakan bahwa sistem BNI hanya membaca Kelengkapan, bukan validitas. Menurutnya, terdakwa sudah mengikuti SOP, namun sistem memang lemah di verifikasi.

“Data sudah lengkap dan benar menurut sistem, karena kredit dua tahun pertama lancar.” jelasnya.

Erdi menegaskan bahwa dakwaan harus diperjelas demi keadilan terdakwa. (Anton)

Komentar