Mantan Kabiro Asuransi Bapepam-LK Terseret Korupsi PT Asuransi Jiwasraya

JURNALMERDEKA.id — JAKARTA. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan,  perkara dugaan tindak pidana korupsi yang menyeret terdakwa Isa Rachmatarwata, mantan Kepala Biro Asuransi Bapepam-LK, terkait persetujuan produk saving plan PT Asuransi Jiwasraya. Sidang berlangsung dengan agenda pemeriksaan dua saksi ahli: Irvan Rahardjo, SE.MM.ANZIIF sebagai ahli perasuransian, dan Dr. Ahmad Redi sebagai ahli hukum administrasi negara dan peraturan perundang-undangan, Selasa (18/11/225).

Perkara ini terdaftar dalam nomor 75/Pid.Sus-TPK/2025, dan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sunoto, SH MH.
Terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Perkara ini berawal terdakwa Isa Rachmatarwata diduga menyetujui pemasaran produk saving plan Jiwasraya dengan imbal hasil 9–13%, meski perusahaan dalam kondisi tidak sehat (insolvent). Sebagai pejabat yang berwenang memberi izin produk (2006–2012), Isa dianggap melanggar Pasal 6 KMK No. 422/KMK.06/2003 yang melarang perusahaan insolven memasarkan produk baru.

Dalam keterangannya di persidangan, Irvan Rahardjo memberikan penjelasan teknis mengenai premi, risiko finansial, kewajiban perusahaan asuransi, hingga prinsip kehati-hatian dalam perancangan produk.

Irvan menjelaskan bahwa rasio premi berkaitan erat dengan risiko modal perusahaan asuransi. Ia menyebut sering terjadi kesalahan analisis karena fokus hanya pada objek asuransi.

“Rasio antara biaya premi itu berhubungan dengan biaya modal. Ini risiko finansial, dan ini yang menjadi pokok persoalan karena umumnya reaksi itu adalah respons terhadap objek tertanggung.” terangnya.

Ia juga menyinggung ilustrasi “180/90” yang kerap menimbulkan perdebatan dalam pembagian kewajiban reasuransi. Irvan menekankan pentingnya pelaporan kewajiban secara benar.

“Kewajiban terhadap objek asuransi bisa berbentuk proporsional, tapi yang menjadi pusat perhatian adalah cara pelaporannya. Kadang penerima bisa tidak menerima cara pelaporan itu.” bebernya.

Ia menegaskan bahwa laporan keuangan harus menggambarkan kondisi sebenarnya.

“Aktiva dan kewajiban itu harus merepresentasikan kewajiban perusahaan. Tidak boleh ada yang tidak tercatat karena itu menyangkut hak pemegang polis.” jelasnya.

Perjanjian asuransi wajib dijalankan dengan utmost good faith.

“Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik. Itikad baik itu berlaku sepanjang hubungan asuransi berlangsung.” tegasnya.

Irvan juga menekankan bahwa produk asuransi harus diuji kelayakannya sebelum dipasarkan.

“Jika produk itu berpotensi menyebabkan defisit, maka tidak boleh diterbitkan. Evaluasi harus dilakukan,  dampaknya terhadap posisi keuangan perusahaan harus dihitung.” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa regulator juga memiliki batasan kewenangan dalam memberi izin pada perusahaan yang sedang bermasalah. Irvan menjelaskan bahwa protokol reasuransi tidak berarti memindahkan premi.

“Protokol itu bukan mengalihkan premi. Itu mengatur hak dan kewajiban dalam bisnis asuransi.” ujarnya.

Sementara dalam keterangan Ahmad Redi, menilai aspek tata kelola pemerintahan, kecermatan verifikasi dokumen, dan mekanisme pelimpahan kewenangan dalam birokrasi.

Ahmad Redi menegaskan bahwa pejabat publik wajib menjaga integritas.

“Yang ketiga profesional, ini harus sesuai dengan karya, etika, birokrasi, dan sebagainya.” katanya.

“Yang keempat juga no-conflict interest… pemerintahan negara itu harus juga bagus… secara good faith, no-conflict interest, independent, dan kebijaksanaan.” tambahnya.

Ia juga menekankan bahwa pelanggaran prinsip dasar ini menimbulkan persoalan hukum.

“Nah, ketika itu dilanggar, ya maka itu akan jadi masalah.” ungkapnya.

Menurutnya, pejabat wajib melakukan verifikasi menyeluruh terhadap dokumen.

“Asas kecermatan itu menyangkut lebih ke aspek verifikasi, dia harus cermat dan teliti. Dia harus verifikasi, teliti dalam dua aspek: formal maupun secara material.” jelasnya.

Lebih lanjut Ahmad Redi juga menegaskan kewajiban mengikuti asas lex stricta, keputusan harus jelas dasar hukumnya.

“Harus lex stricta dan lex certa,  artinya jelas dan tegas.” pungkasnya. (Anton)