JURNALMERDEKA.id — JAKARTA. Persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait penyaluran kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI) kembali bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (24/11/2025). Perkara ini melibatkan empat terdakwa, yakni Lia Hertika Hudayani, Ferry Syarfariko, Nazal Gilang Romadhon, serta Lilys Yuliana alias Sansan, yang hingga kini berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO). Mereka didakwa terlibat dalam penyaluran kredit fiktif di BNI Kantor Cabang Daan Mogot dan Jakarta Kota, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp34,51 miliar.
Dalam sidang tersebut, jaksa menghadirkan saksi ahli Hernold F. Makawimbang, konsultan hukum keuangan negara. Hadir secara daring, Hernold memaparkan sejumlah temuan terkait prosedur audit, tata kelola penyaluran kredit, serta indikator yang dapat mengarah pada terjadinya tindak pidana korupsi.
Ia menjelaskan bahwa setiap permohonan kredit di bank wajib melalui proses verifikasi berlapis, termasuk pengecekan keabsahan berkas, analisis agunan, hingga penilaian kemampuan bayar debitur. Bila terdapat manipulasi data, rekayasa dokumen, atau persetujuan kredit tanpa dasar yang sah, maka hal tersebut dapat menjadi bagian dari tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.
“Dalam kasus kredit macet, penyimpangan biasanya terjadi sejak proses analisis hingga pencairan. Bila rekomendasi kredit diberikan tanpa memenuhi prinsip kehati-hatian, maka potensi kerugian negara sangat besar,” ujar Hernold dalam keterangannya.
Penasihat hukum terdakwa Lia Hertika Hudayani, Erdi Surbakti SH, usai persidangan memaparkan kembali poin-poin penting dari keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan. Menurut ahli, beberapa praktik yang selama ini dipersoalkan penyidik justru bukan merupakan pelanggaran.
“Terkait penerapan pasal 2, pasal 3, dan lainnya dalam perkara ini, khususnya mengenai link bisnis BNI yang merekrut beberapa marketing di luar struktur, menurut ahli hal itu tidak ada masalah,” jelas Erdi Surbakti.
Erdi juga menjelaskan bahwa ahli juga menegaskan kemungkinan pihak internal BNI, dari level penyelia hingga pejabat bagian kredit, dijadikan tersangka atau terdakwa harus didasarkan pada pemeriksaan material, bukan semata-mata karena keterlibatan administratif.
“Jadi ada kemungkinan pihak BNI dari Pinca sampai ke penyelia juga diperiksa, itu harus berdasarkan pemeriksaan materialnya, bukan asumsi,” lanjut Erdi.
Menurut Erdi, mekanisme hukum mensyaratkan bahwa penetapan tersangka atau terdakwa harus didasarkan pada pemeriksaan yang benar-benar menilai substansi perkara.
“Kemungkinan dalam perkara tersebut dijadikan dari pihak BNI itu tersangka, terdakwa, nah itu didasarkan pada pemeriksaan materialnya.” tegas Erdi
Hal ini disampaikan untuk menegaskan bahwa tidak semua kesalahan administratif atau teknis dapat serta-merta digolongkan sebagai tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut, Erdi mengakui bahwa terdapat sejumlah ketentuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tidak terpenuhi, termasuk masalah dalam kontrak perjanjian. Namun ia menyoroti inkonsistensi sistem BNI.
“Ketentuan-ketentuan terkait KUR itu tidak terpenuhi, contohnya menyangkut kontrak perjanjian yang sebagian besar itu bermasalah.” ujarnya.
Menurutnya, berdasarkan keterangan saksi sebelumnya, jika persyaratan bermasalah, sistem otomatis tidak akan menyetujui pencairan.
“Dari keterangan saksi sebelumnya, jika terjadi masalah maka sistem akan menolak. Nah faktanya dalam persidangan berbeda,” terang Erdi.
Pernyataan ini diarahkan untuk menunjukkan bahwa ada kelemahan sistemik, bukan semata-mata tanggung jawab para terdakwa.
Usai persidangan, terdakwa Lia Hertika Hudayani, menyampaikan harapan besarnya terhadap pemberitaan media terkait kasus ini. Ia berharap agar salah satu terdakwa yang masih buron (DPO), yaitu Lilys Yuliana alias Sansan, segera menyerahkan diri agar proses hukum dapat berjalan tuntas.
“Mudah-mudahan ya dengan bantuan media, Sansan tergerak hatinya untuk menyelesaikan masalah ini.” ungkap Lia dengan mata berkaca-kaca.
Lia menegaskan bahwa keberadaan Sansan sangat penting dalam pengungkapan penuh rangkaian perkara kredit macet tersebut. Absennya terdakwa yang kabur membuat proses pembuktian di pengadilan menjadi tidak optimal. (Anton)
